FESBUKERBREBES.COM - Tidak berselang lama, seorang gadis keluar dari dalam kurungan dengan pakaian tari lengkap dan dandanan menor walau tubuhnya tetap terikat. Bibir merahnya yang terkatup dengan kacamata hitam menutupi matanya, gadis itu kelihatan lebih cantik dibanding sebelum ia masuk kurungan. Setelah menari sebentar dengan badan yang masih terikat, gadis itu kembali masuk dan keluar dalam waktu singkat dengan badan dan tangan yang sudah bebas dari ikatan. Selanjutnya gadis kembali menari gemulai mengikuti irama yang ditabuh para pemusik.
Pemandangan ini tentu tak asing lagi bagi masyarakat pesisir, karena ini merupakan kesenian daerah pantai utara Jawa khususnya Brebes. Ya, Sintren bisa dibilang kesenian daerah perbatasan yang menyatukan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Beberapa orang beranggapan bahwa Sintren bukanlah kesenian melainkan tradisi atau budaya karena didalamnya terkandung unsur magis dan tariannya pun tidak didasarkan teori atau patokan tertentu (wiraga, wirasa, wirama).
Anggapan tersebut beralasan mengingat tarian yang dibawakan oleh sintren memang tidak didasari oleh patokan-patokan tertentu bahkan menurut pelaku kesenian ini, yang menari bukanlah sintren, tetapi bidadari yang turun dari kahyangan. Pendapat tersebut diperkuat lagi dengan penyataan dari Kusni (17), penari Sintren Grup “Cahaya Purnama” Desa Kamal, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Menurut pengakuannya, dia sama sekali tidak bisa menari. “Jangankan menari, berdiri di hadapan orang banyak saja saya malu” tuturnya.
Sintren memang fenomenal. Ditengah gencarnya kesenian modern yang saat ini marak kesenian ini tidak banyak didukung masyarakat, tetapi kesenian ini tetap saja berjalan walaupun agak timpang. Salah satu grup Sintren yang masih bertahan adalah Cahaya Purnama. Berdiri 8 tahun yang lalu, grup ini mencoba menerobos ramainya kesenian modern yang sudah menjalar sampai kepelosok desa terpencil seperti Kamal.
Dengan bermodal tekad, Rojikin (50) bersama rekan-rekannya mendirikan grup yang beranggotakan 20 orang lebih yang terdiri dari kru upacara ritual dan pemusik. Untuk menyiasati perkembangan seni modern, dia bersama rekannya menyajikan sintren dengan perpaduan musik tradisional dan modern. Itu terlihat dari alat music yang digunakannya berupa buyung (tempat air), bambu yang dipotong kurang lebih setengah meter, gendang, kecrek, dan gong ditambah gitar elektrik. Selain lagu “Turun Sintren” dan “Bari Lais” yang merupakan mantra untuk mengundang “bidadari”, dia bersama rekan-rekannya juga membawakan lagu Jaipong maupun dangdut.
Dalam setiap pementasannya, grup ini tidak banyak memperoleh penghasilan yang besar. Dari hasil saweran dari penonton, masing-masing personil rata-rata hanya memperoleh Rp. 15.000,- Tetapi hal ini bukan merupakan halangan bagi para personilnya karena bagi mereka yang sebagian besar berprofesi petani, sintren merupakan jiwa yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan mereka. “Sintren merupakan warisan dari sesepuh kami yang tidak mungkin kami buang begitu saja, walaupun dengan sintren kami tidak mendapatkan materi lebih,” tegas Rojikin. Sebuah cita-cita yang mulia, mengingat jumlah grup sintren di kabupaten ini masih bisa dihitung dengan jari. Ya, di kota berpenduduk 1,9 juta jiwa ini, grup sintren yang masih bertahan hanya tiga grup saja. Sebuah kondisi yang tak layak untuk daerah yang kaya dengan dengan seni tradisional ini.
KATEGORI
Seni Budaya